Kopi Mulai Dingin
"Ketika kopi sudah terlanjur larut malam ini. Tak ada lagi tanya yang mampu bertanya, apalagi seru, menyeru ...."

Menanya namun tak berjawab.
Sambil menunggu kata demi kata yang juga belum menjadi sebuah kalimat. Ketika kopi sudah terlanjur larut ke dalam cangkir malam ini. Tak ada lagi tanya yang mampu bertanya, apalagi seru, menyeru. Kalimat pun belum selesai. Sampai ketenangan hati terusik, ketentraman yang terkontaminasi oleh cerita tentang sulitnya memejamkan mata dini hari ini. Menahan karut, mengusap muka dengan dua telapak tangan yang kering. Lalu merebah tanpa terpejam, mencoba berdamai dengan diri sendiri.
Angin malam menyelinap masuk menyentuh rindu yang sibuk menerka berita, sampai menghilangnya aroma kopi. Kopi yang mulai dingin, utuh secangkir penuh, begitu saja di situ, sampai akhirnya semut-semut mulai berbaris.
....
Demi sesuatu tentang saat, demi kalimat yang belum juga jadi, demi belaka. Jadilah mataku, andai kau bisa rasa, tetaplah tegar, ceria, belum saatnya bertanya. Jangan bertanya.
Maafkan bila bunga seperti mawar tak tercium wanginya di depan wajahmu. Abaikan saja jika begitu, namun jangan abaikan awal yang selalu tepati janjinya pada akhir. Menunggu kisah tentang tanya demi kalimat yang belum jadi. Belum. Belum waktunya. Susun saja kata-kata hingga jadi. Tak peduli seperti apa kalimat itu nanti.
Aku, seperti menatap kabut, seperti saat Merapi berguncang dan seperti tak tidur selama seminggu. Seperti itulah yang disampaikan aroma kopi yang kuteguk tanpa buktikan apa-apa.
Bagaimana dengan tanya esok subuh?
Kenapa masih bertahan? Mungkin hanya akan ada kegilaan, atau mungkin sengaja atau memang sudah diabaikan. Biarkan, biar waktu menjadi hikmah, mengapa terlalu banyak rindu menerka berita.
Belum .... Belum saatnya.
Komentar
Beri Komentar