Sekantong Rindu di Meja Kerja

Admal Yasar  • 
"Melihatku saja kau enggan, apalagi mengurus mayat hidup ini! Si Nyonya besar masih sibuk ...."
Sumber gambar: Adrianna Calvo, 2015 (dalam www.pexels.com)

Sedang banyak tamu di rumah.

Entah kau yang mengundangnya atau sebaliknya. Kau begitu senang rasanya. Menjamu tamumu. 1, 2, 3, 4, ..., ah, entah sudah hari keberapa ini. Kalikan saja 24 jam dengan jumlah hari-hari itu. Belum juga aku kau sapa dengan layak. Tanyaku jua tak rinci kau jawab. Kau masih sibuk melayani tamumu yang mulia. Pagi, siang, sore bahkan malam hingga pagi tiba lagi. Lagi dan lagi. Lagi ....

Dan aku? Begitulah!

"Hei, ada aku lho di rumah ...."

Kemarin bulan kedelapan kita, ada sekantong rindu yang terkumpul sejak hari ... ah hari keberapa ini?

Basa-basiku percuma, sedikit saja kau lihat aku, apalagi menyapa, formalitas sapa belaka. Mungkin basa-basi sudah basi. Jikalau aku mayat, sudah penuh dengan belatung, lalat, atau apalah yang seordo dengan itu. Melihatku saja kau enggan, apalagi mengurus mayat hidup ini! Entahlah mau dibawa ke mana sekantong rindu ini, Si Nyonya besar masih sibuk dengan tamunya.

Sejenak aku keluar rumah, sekedar melepas penat. Lalu pulang. Lagi-lagi aku pulang sambil membawa sekantong rindu ini dengan tetap menjinjingnya. Percuma. Kau masih sama seperti aku keluar tadi. Kenapa tak kau biarkan saja pintu rumah kau kunci, jika aku masuk dan sama sekali tak kau hiraukan? Salamku kau jawab dengan begitu singkat juga tak padat bernada samar.

Aku masuk saja, melirikmu sejenak, lalu sekantong rindu ini kuletakkan saja di atas meja kerjaku. Semoga nanti kau bisa membuka dan melihatnya.

"Aku pergi dulu, kabari aku jika sudah tak sibuk," begitulah satu memo yang kutulis dan kuletakkan di meja yang sama.

....

"Ah, selamat bersenang-senang," gumamku setelah pamit seraya salamku kau abaikan.

Tanpa ragu aku berlalu, tak tahu ke mana tuju. Lalu jauh makin jauh. Tenggat waktu tergantung, kini hati sedang perang.

Komentar