Rintik Temaram
"Lagi-lagi aku lelah, kemudian tersimpuh. Ah, terserahlah ...."

Oh, aku ditahan suruh bermimpi. Itu gulita menyapa lagi.
Katanya ia tak mau bersua mentari. Berhentilah gulita! Aku usang bahasa bualmu. Biarkan kuterjaga, tanpa harus bermimpi dalam gelapmu.
Lagi-lagi aku lelah, kemudian tersimpuh. Malam tak terasa sudah, terasa sudah peluh. Aku mencarimu, tapi kau tidak. Kau tak mencariku, tapi aku tak mungkin tidak. Lagi-lagi batin memekik, memaksaku beranjak. Malam tak terasa sudah, gulita menyapa peluh.
Ah, sudahlah! Di bawah temaramnya lampu jalanan, aku duduk meneduhkan diri. Hingga ketika hujan mulai terasa dan akhirnya aku memutuskan untuk berlari menuju teras sebuah toko cat yang sudah tutup. Aku menoleh ke arah lampu temaram, rintik-rintik hujan semakin terlihat jelas. Rasanya semakin dingin saja.
Uh! Kunyalakan saja sebatang rokok agar sedikit menahan rasa dinginku. Aku merasakan kenikmatan rokok ini. "Kenikmatan dunia yang meracuniku," makiku pada diriku sendiri.
Jalanan belum juga sepi. Suara-suara kendaraan itu terlalu berisik. "Sibuk apa mereka masih berlalu-lalang malam-malam begini?" cetusku ketika sebuah mobil mewah melaju kencang dengan bunyi knalpot yang terlalu berisik.
Seketika itu juga ponselku berdering. Kulihat pengirimnya, "Ah, bukan dia."
Aku berharap pesan itu adalah balasan pesan yang telah kutunggu sejak tadi. "Apakah pesanku sengaja tak dibalas? Atau mungkinkah dia sudah tidur? Ah, terserahlah!" pikirku kesal.
Aku masih temaram dalam gelap bayanganmu, merindukanmu. Rasa rindu? Ah, freak! Bayangannya selalu sama. Tapi biarkanlah anganku mengulang setiap kejadian selama ini bersamanya.
Entahlah, harus aku ungkapkan dengan cara seperti apa. Aku hanya bisa memekik. Aku cuma mau menyapamu, "Dinda."
Komentar
Beri Komentar