Ruang Tak Bernama
"Ruangku tak bernama, kontras membalik logika, berbalik antara gelap dan terang ...."

Itu pagi datang saat mataku terpejam.
Lintasi mimpi, semburkan embun paginya. Antarkanku pada taman-taman hijau, beranjak terpulas dalam ruang tak bernama. Aku dan ruangku, terbangun saat mata-mata mulai terpejam, ketika semua telah lelah dalam kemunafikan.
Ruangku tak bernama, kontras membalik logika, berbalik antara gelap dan terang. Dan kau, membuatku hampir terjaga di balik kisi-kisi usang itu.
Ruangku tak bernama, tapi kau tahu aku ada. Di balik fasadmu, menemani estetikamu. Dan aku hampir selalu hilang dalam argumen dari logika berambiguitas yang sebenarnya tak logis dan cenderung lucu. Ruangku hampir gila!
Coba lihat itu aku, logikamu tak laku. Usah aku dimengerti, kau tak mengerti, apa itu yang aku lakukan saat matamu terpejam, ketika aku terpulas bersama semua mimpiku. Coba saja bangunkan pulas pejam mataku, aku akan kembali terjaga sekalipun kau tak sadari, aku hampir terjaga di sepanjang mimpimu.
Kau masih belum mengenalku, aku pada ruang tak bernama.
....
Kali ini aku berniat ke pantai, rasanya sudah lama tak ke sana. Lihat ombak, biru, pasir, dan kawan-kawannya yang lain. Apalagi sunset yang akan terlihat saat senja mulai berpamitan untuk pergi ke sisi dunia yang lain.
Ah, tapi ada baiknya aku tak berangkat untuk sore ini. Hujan itu... Hujan itu menutup semuanya. Kebingungan menghampiriku, jadi atau tidak? Sekarang hujan. Mau mandi hujan? Apakah aku harus tidak melihat sunset untuk hari ini? Sedang cukup lama sudah aku tak pernah melihatnya lagi. Namun apa yang mau dilihat bila sedang hujan seperti ini?
Dengan nekat aku beranjak pergi saat jalanan masih terguyur hujan di Sabtu sore ini. Awan terlihat abu-abu.
Dalam perjalanan basah kuyupku, kembali kubertanya-tanya kenapa kemarin aku begitu bersemangat untuk sejenak menikmati matahari yang akan berpamitan? Saat-saat hari terang di mana siang yang panas akan diselimuti gelapnya malam. Ketika hari akan ditutup dengan suatu fragmen indah bernama senja.
Dan hari ini, tiba di tempat yang sama, aku seperti mengulang kejadian yang sama di waktu lampau. Hujan telah mendahului kehadirannya. Indah memang, ditambah dengan hujan yang akan menambah romantisme senja ini. Tapi sayang. Tidak untukku sekarang. Hujan memperburuk. Yang kucari ialah esensi sunset yang murni. Lihatlah, pelangi tak begitu jelas, samar-samar, apalagi sunset? Ah, pelangi malu-malu! Jika malu, kenapa tak biarkan saja sunset itu terlihat sempurna?
Kemerahan di ufuk barat telah terlihat dan aku tak bisa menikmati ketakjubannya. Hanya merasa semua biasa saja, meskipun dengan energi penuh aku mencoba berusaha masuk dalam medium yang sama seperti melihat sunset di momen-momen terbaik di hari lampau. Dan aku betul-betul gagal, hambar, dan tak sedikit pun mengubah keinginanku yang kuat untuk menyalakan sebatang rokok lagi.
Dengan niat tuk bersemangat kembali, kutinggalkan saja senja itu jauh-jauh dari benak ini. Aku begitu kedinginan sekarang. Hujan, kau telah datang. Basahilah diri ini. Teruslah basahi tubuh ini dengan rintikmu hingga kau puas. Dinginkanlah hati yang sedang bergejolak ini.
Aku segera beranjak dari bibir pantai. Kulihat ada hamparan rumput di ujung pesisir pasir di sana. Tak dekat, tak juga jauh. Hanya perlu meniti jalan setapak untuk sampai di sana.
Awan sedang berjenuh, kelabu tak cerah. Malah bergemuruh buat kilat merekah, telinga terpekik pecah. Jenuh awan kelabu berubah jadi rintik. Langit malah hampir hitam membentang. Ah, mengapa langit begitu hitam? Namun aku tak bosan di sini, duduk di antara rumput-rumput yang hampir tergenang pada batas-batas pasir putih. Aku suka aroma tanah basah ini. Aku suka tak ada visualisasi vertikal yang menutupi pemandanganku di sini.
Awan semakin jenuh gelisah, apa itu barusan gemuruh kebosananmu? Hingga kau tak ijinkan aku melihat pelangi dengan warna-warna keceriaannya. Jika iya, puaskan saja derasmu! Guyur saja aku dan rumput-rumput ini dengan hujan dari awan jenuhmu. Dan cepat-cepatlah reda. Aku hanya mau melihat fragmen-fragmen senja kembali walaupun hanya beberapa detik sebelum malam tiba. Dan asal kau tahu, aku bukan rumput-rumput ini. Rumput-rumput yang telah basah, yang sepertinya mereka senang walau hujan hampir membuatnya tergenang.
Kau tak hadir lagi, senja. Aku tak mau lagi ambigu. Jangan kau rayu aku lagi dengan rinai hujan ini. Silahkan kau lupakan kejadian-kejadian di puncak ketidakpedulian itu, silahkan juga kau lupakan seratus sembilan puluh satu hari kita. Dan untuk dia, silahkan juga kau lupakan batas-batas langkahmu. Tapi aku, aku tak mungkin.
Aku akan kembali pada ruangku, merenovasi kisi-kisi usangnya, memperbaiki dinding-dindingnya yang kusam. Biarkan saja kotak-kotak sabun di sana menghalangi pandangan bebasku. Akan kuberikan taman-taman hijau dengan jalan tanah setapak dan bebatuan kecil disela-selanya, agar aku dapat berjalan berkaki kosong kapan pun aku mau sambil menghitung seratus sembilan puluh satu bebatuan yang kulewati.
Akan kuhadirkan aroma tanah basah, wewangian rumput berembun, nyanyian kicau burung, gemercik air yang bening, serta semua yang terasa, tercium, teraba pada ruangku di tengah himpitan vertikalisasi yang berkonsep nihil. Aku dan ruangku, berestetika dengan karakter kejadian-kejadian yang kau dan dia berikan. Fasad-fasad ruangku akan bercerita tentang semua kejadian pada musim hujan dan kemarau kala lampau, juga menciptakan cerita baru tentang romantisme dua musim tropis itu dalam versi yang berbeda. Aku mungkin butuh sebuah nama baru, tapi takkan kuberi nama pada ruangku yang tak bernama.
Komentar
Beri Komentar