Batas Langkah
"Rintik hujan semakin terlihat jelas. Rasanya semakin dingin saja. Batinku perih, kau masih membayangiku tanpa batas ...."

Alun-alun Yogyakarta, lumayan ramai di jam setengah lima sore ini.
"Kamu di mana?"
Sebuah pesan masuk dari temanku. Namanya Tasya, gadis bertubuh gemuk, manis, dan cukup feminim dengan gaya masa kini.
"Di angkringan, tempat biasa."
Sebelumnya memang Tasya mengajakku untuk bertemu di sini. Ada sesuatu hal yang penting yang ingin ia sampaikan, begitulah kira-kira isi pesan yang ia kirimkan ke ponselku sejam yang lalu. Entah apa itu, aku pun tak tahu.
Aku baru saja selesai menyantap sebungkus nasi kucing. Dan ia pun datang dengan wajah yang mendung, tak seperti biasanya, yang ceria dan penuh senyum ramah.
"Ada apa, Sya?" Wajah itu justru semakin meredup. Sesekali ia kepayahan menarik nafas karena tadi sedikit berlari setelah turun dari mobilnya di seberang jalan sana. Lalu binar matanya mulai berkaca-kaca.
Hmm, mungkinkah dia akan menangis? Tapi untuk apa?
"Engg ...," Aku menatap gadis itu penuh tanya. Mencoba membaca arti mendung itu. "Dinda ... dia pergi ...."
Aku masih menatapnya.
"Dia minta tolong agar aku menyampaikan maafnya ke kamu."
Aku masih melakukan hal yang sama, menatap paras yang sedang mendung itu.
"Dinda bilang, dia sayang sama kamu," katanya lirih lalu tertunduk seakan tak mampu menatapku.
Kosong. Pikiranku kosong dan masih terdiam. Ya, aku hanya bisa melakukan itu. Sepertinya mendung barusan akan menghadirkan hujan.
"Dia pindah ke Bali ...," Tasya kemudian menggenggam tanganku erat.
Kurasakan tangan itu sedikit bergetar. Lalu ingatanku perlahan mundur ke semua ceritaku bermula saat itu.
Enam bulan yang lalu ....
Nongko Doyong, salah satu kedai kopi di kota Berhati Nyaman ini, tempat biasanya kuhabiskan waktuku sendirian.
Saat itu asyik saja kucorat-coret kertas binderku, cari-cari konsep desain untuk tugas kuliah esok pagi. Hampir habis waktuku. Ah, sudah banyak sketsa yang berhamburan. Tapi belum juga kudapatkan ide yang matang. Bingunglah. Kucoret saja kertas-kertas itu dan terlihatlah rentetan benang kusut di atas kertas-kertasku. Mungkin saat itu aku terlihat seperti orang yang bodoh dengan kelakuanku itu.
Namun dibalik kebingunganku tadi, aku merasa ada yang lama memperhatikanku dari sebuah meja di pojok kedai itu. Sesekali aku menoleh padanya. Nah, dia menatapku lagi.
Ah, siapa kau di depan sana? Tatapan dari dua meja di depanku. Menoleh dengan mata indah nan tajam. Cukup lama, berani sekali dia melirikku seperti itu. Kedua tangan menopang dagu, cantik menawan berparas manis, tajam mata indahmu menusukku. Sungguh! Aku tak mengenalmu, nona manis.
Baju hitam, celana pun hitam. Sama sepertiku. Baju hitam, celana pun hitam. Sama sepertimu. Selera kita mungkin sama. Oh, penyuka hitam? Sepersekian detik kontak mata kita, pikiranku melayang, matamu tajam. Kau terlalu berani, kau buyarkan konsentrasiku. Sungguh belum pernah kutemui sebelumnya, kau terlalu berani. Kubereskan saja kertas-kertas yang berantakan di mejaku. Nah, kau malah tersenyum padaku, lalu berdiri dan berjalan ke arahku.
"Dinda ...." Begitu kau sebut namamu saat mengulurkan tanganmu.
Aku terpana, begitu nekat kau menghampiriku. Seperti ada yang menahanku, tak bergerak. Jangan sampai aku terbuai. Jangan! Aku membatu. Begitu khas aroma parfummu itu.
Kuambil saja pensil dan kertas kosong di binderku. Kutulis namaku di situ. Oh, senyummu manis sekali. Kau malah tersenyum lagi dan menuliskan namamu di bawah namaku.
Kau terlalu nekat. Tapi entah malaikat apa yang mempertemukan kami berdua, terlalu singkat. Aku, kau, di tengah kertas-kertas bersketsa benang kusut. Oh, pandangan pertama, terjadi begitu saja. Tak lagi redup lampu kedai ini. Kau buat kian terang. Kurasakan panas dari sinar itu, hatiku gelisah kepanasan, benakku melayang.
Aku kembali membereskan kertas-kertasku. Dan kita bercerita hingga larut.
Aku mengingat, lamunkan pandangi namamu yang pernah kau tulis di kertasku. Senyumanmu, ucapan bibirmu, sepeti senandung kebahagiaan malam itu. Merdu.
Seminggu sejak saat itu, aku sendiri tak menyangkanya. Benih cinta itu lahir dengan tulus, begitu sempurna. Benih yang disebut sebagai anugerah, seperti hal apapun yang terindah, begitulah yang kau katakan ketika pertama kali mengunjungi rumahku.
Semakin sering ia menemuiku, sepertinya ia betah menjadi bagian dari ruangku. Lama ia menatapiku dengan kepala menempel di kedua telapak tangannya. Lagi-lagi ia melakukan hal yang sama seperti awal kami bertemu.
"Kamu itu memang pendiam ya?"
"Heh ...?"
Dia pun tertawa lepas, aku menangkap keceriaannya. Kemudian memelukku dan aroma tubuhnya yang khas mulai tercium.
"Besok aku mau keluar kota, kamu mau ikut tidak?"
"Nah, kok mendadak?"
Kemudian dia mengamati kertas-kertas gambarku. Sepertinya ia paham, gambarku masih banyak yang belum selesai, apalagi tawarannya itu mendadak.
"Aku takut di sana."
"Nah, kenapa? Sama siapa saja ke sana?"
"Sama keluarga sih, cuma kan jauh. Kalau kangen sama kamu gimana? Kalau aku sakit di sana gimana?"
"Gombal gembel!"
Seketika kami berdua tertawa bersama. Kemudian ia berbaring di pangkuanku. Bebas kupandang wajahnya yang manis itu, membelai rambutnya. Matanya selalu bersinar.
....
Ah, lamunanku buyar.
Ada apa denganmu? Mengapa kau pergi begitu saja?
"Memang agak berubah akhir-akhir ini," kata Tasya memecahkan diamku.
Aku kembali duduk di ujung bangku angkringan ini.
"Dia pergi hari ini."
Hari ini. Sementara kemarin aku masih melihatnya berteriak menyemangatiku mengerjakan gambar kerjaku. Tugasku memang memaksaku untuk tidak keluar ke mana-mana hari itu. Tawanya lepas ketika melihatku kebingungan meneliti gambar-gambar detail. Dan aku tak merasakan hal-hal yang berubah dari Dinda seperti diungkapkan Tasya.
"Kenapa baru bilang sekarang, Sya?"
"Lah, Dinda juga baru memberi kabar sebelum aku sms kamu. Itu pun via telepon. Awalnya aku tidak percaya, kukira dia bercanda."
"Kenapa dia pergi tanpa mengabariku?"
"Ssst, jangan berpikiran negatif dulu. Dia pasti punya alasan tersendiri dan sudah mempertimbangkannya. Siapa tahu dia tak mau membuatmu khawatir, makanya dia tidak mengabarimu."
"Tapi kenapa sekarang aku justru khawatir?"
....
Hari-hari berlalu tanpanya, ponselnya pun tidak pernah aktif lagi, komunikasi pun putus total.
Dan hari ini aku sedang menyendiri di perpustakaan kampus. Kampus dimana Dinda pernah kuliah di situ bersama Tasya. Entah apa yang membuatku melarikan diri ke kampusnya yang lumayan jauh dari kampusku. Mataku tertanam dalam di halaman buku. Mataku tidak di sana. Bahkan tidak di ruangan perpustakaan ini. Entah melayang ke mana.
"Aku sudah kelar," Tasya mengirim pesan singkat padaku.
Segera saja aku keluar dari ruangan perpustakaan.
"Sudah ada kabar?" cegatku seketika di depan pintu kelas.
"Genap satu bulan Dinda pergi," bibir kecil dan kaku menjawab pertanyaanku.
"Mungkin aku tidak benar-benar mengenalnya. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri dan hanya sok tahu banyak tentang dia. Mungkin hanya aku yang menganggap hubungan ini ada."
Tak tahan lagi, sedikit memaksa kuajak Tasya ke ruang sebelah yang tidak dipakai kuliah.
"Cukup! Ini sudah keterlaluan. Aku diam bukan berarti tidak peduli. Aku ingin lihat kamu bangkit dari keadaan ini dengan niat kamu sendiri. Tapi sepertinya aku keliru. Kamu justru menghayati kesedihanmu. Kamu menikmatinya."
"Entahlah!" geramku.
"Aku belum selesai! Ini konyol. Kamu hidup di sini. Dengan teman-teman yang sayang sama kamu. Yang selalu menganggap kamu adalah saudara. Yang melihat tawamu sebagai kebahagiaan mereka. Yang merasakan penderitaanmu sebagai penderitaan mereka. Kamu pernah sadari itu?"
Ia terdiam, matanya basah. Silahkan hujan kau datang sekarang, badai barusan datang, batinku geram. Badai dariku.
Ia menggenggam tanganku. "Kita sahabatan sudah lama. Aku ikut sedih lihat kamu seperti ini. Aku mau bantu kamu tapi bagaimana caranya? Sementara kamu lebih suka memendam semuanya sendiri. Ayolah, balik ke kamu yang dulu. Kamu yang ceria. Kamu yang ..."
"Aku, aku cuma khawatir dengan Dinda. Bolehkan, Sya?"
"Bolehlah. Saat Dinda sedang ada masalah, sudah sewajarnya kamu khawatir. Bukankah itu yang sedang aku dan teman-teman lain rasakan melihatmu seperti ini? Apa kamu pernah berpikir, saat ini Dinda bakal melakukan hal yang sama denganmu?"
Tasya masih menceramahiku dengan kata-kata yang entah darimana ia dapatkan, "Lewati hari-hari dengan lamunan tentang kamu. Membayangkan wajahmu di setiap apa yang dia lihat, mengingat namamu seperti kamu mengingat namanya. Apa kamu sadar itu? Kalau kamu sendiri tak tahu apa yang saat ini dia lakukan, tolong, sampai di sini saja rasa khawatirmu. Jangan sia-siakan waktumu."
Begitu kalimat terakhirnya selesai, aku segera berdiri. Tanpa melihatnya lagi, aku pergi.
"Maafkan aku. Aku hanya ingin kamu balik ke kamu yang dulu. Ada banyak orang yang kecewa setelah kamu berubah," teriak Tasya setelah aku mulai menghilang dari pandangannya.
....
Entah sudah berapa ... minggu ... bulan. Selama itu juga, Dinda tak pernah mengirimkan kabarnya. Aku mengaku, aku merindumu.
Di bawah lampu jalanan, kuteduhkan diri ketika hujan turun selepas magrib tadi. Remang-temaram, kutoleh rintik hujan semakin terlihat jelas. Rasanya semakin dingin saja. Batinku perih, kau masih membayangiku tanpa batas. Entah seperti apa harus memberitahumu bahwa batin ini sedang gundah.
"Aku sayang kamu, Dinda," aku mengaku.
....
Hari ini aku memutuskan untuk ke rumah Tasya.
Begitu pintu terbuka, seraut wajah teduh di balik jilbab putih menyambutku. Lengkap dengan senyum tulusnya.
"Masuklah," sambutnya.
Aku duduk di tepi sofa ruang keluarganya. Mengamati sahabatku. Aku tidak melihat badai lagi di matanya. Secepat itukah?
"Kemana saja? Berapa hari tidak kelihatan?"
"... hari ... minggu .... Ah, aku lupa."
"Aku mau minta maaf atas kejadian di kelas waktu itu."
"Sya, aku yang seharusnya minta maaf. Aku yang keterlaluan. Sampai-sampai aku mengacuhkan kalian. Kamu benar, buat apa aku sibuk bertanya tentang dia?"
Tasya sepertinya memilih diam untuk mendengarkanku.
"Bukan berarti aku sudah tidak peduli dengan Dinda. Aku peduli, Sya. Lebih malah, seperti aku, teman-teman kita. Banyaklah masalah kita dan selama ini kita bisa melaluinya. Karena aku yakin kita bisa melalui semuanya bersama-sama. Mungkin saja karena sekarang sedikit berbeda ...."
"Beda .... Beda karena kamu sekarang tidak berada di dekat Dinda?"
"Iya, Sya. Tapi aku sadar, ada yang selalu menjaganya. Dinda akan baik-baik saja di mana pun dia sekarang berada. Karena aku yakin apa pun yang kini sedang dia putuskan dan lakukan, dia tidak akan pernah jauh dari jalan yang di Atas."
Tasya memeluk tubuhku. Aku kaget dibuatnya. Dan kemudian isak dari sahabat terbaikku mulai terdengar.
"Dia tidak ke mana-mana. Dia ada di hatimu. Semua akan baik-baik saja. Percayalah."
Aku pun terdiam.
"Mau ke pantai? Saya temani biar lebih segar lagi pikirannya." Ajaknya dengan tatapan penuh keyakinan.
Kami berdua pun berangkat menuju pantai untuk menghabiskan sisa-sisa senja ini. Semoga saja dapat membuatku lebih baik.
Tenanglah jiwaku! Rasakan desir ombak mengiringi langkahmu. Di pantai ini, gelombang akan menerobos ingatanmu. Bercerita tentang kau dan dia. Berdua, hanya kau dan dia.
Dua tahun telah terbagi. Setahun yang lalu kalian berdua melepas sandal masing-masing, berkaki kosong, merasakan hangatnya pasir di sela-sela jemari kaki. Dan setahun sebelumnya juga kau pernah di sini, mengucapkan selamat tinggal pada senja yang berlalu. Tenanglah jiwaku! Walaupun kali ini kau mungkin akan mengucapkan selamat tinggal lagi.
Aku hanya duduk di bibir pantai, sedangkan Tasya ia sibuk seperti mengajakku untuk ikut membasahi kaki di penghujung sapuan ombak. Aku meresponnya hanya dengan senyum lebar yang cenderung kupaksakan.
Ponselku tiba-tiba berdering. Ada pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal.
"Nanti aku akan menghubungimu dan menjelaskan semuanya. Maafkan aku. Dinda."
Biarkanlah senja berlalu. Dan relakanlah bila juga jejak-jejak kaki kalian di atas pasir ini terhapus oleh gelombang. Senja dan jejak di atas pasir akan mengajarimu tentang arti waktu, menunjukkan kebenaran dan menghilangkan pembenaran atas nama hati.
Dan kemudian ponselku berdering. Dinda meneleponku sekarang. Apakah hujan akan segera datang? Apakah akan disertai dengan badai? Ah, aku siap mendengarkan semuanya.
Komentar
Beri Komentar