Tentang Sebuah Nama

Admal Yasar  • 
"Ah, beruntung pijakannya masih sama, berpijak pada bumi. Itu semua hanyalah drama pilu dalam paradigma semu ...."
Sumber gambar: Alexandro David, 2019 (dalam www.pexels.com)

Aku masih berada di depan sebuah monitor ketika mentari pagi mulai menebarkan senyum manisnya.

Tanganku masih menari-nari di atas ke-error-an keyboard-ku. Menulis lagi tanpa harus memikirkan kalimat apa selanjutnya setelah kalimat yang telah kutulis. Jari tanganku terus menari-nari di atas keyboard ini seraya mengikuti alunan musik dari sisi ruang yang seperti tak bisa lagi merasakan apa-apa. Yang tak bisa membedakan antara rasa benci dan cinta. Yang tak bisa membedakan antara suatu kebutuhan dan sebuah status.

Tak mungkin kusalahkan dunia karena kehilangan sekantong cinta. Toh dunia hanya mengerjakan tugasnya untuk terus berputar dan menjadikan siang dan malam, berputar dan menjadikan pergantian musim, berputar dan terus meninggalkan masa laluku.

Terasa jauh sudah langkah ini dan sejauh itu juga aku masih tetap saja di sini. Aku masih di atas pijakan yang sama. Tapi apakah masih perlu kubertanya ke manakah masa laluku? Apakah masih pantas kuhiraukan masa lalu yang telah meninggalkanku, ataukah aku harus berargumen bahwa aku yang telah meninggalkan masa lalu?

Ah, beruntung pijakannya masih sama, berpijak pada bumi. Andai saja pijakan ini berubah, mungkin aku tidak lagi di sini. Di alam lain mungkin saja iya. Bersyukur sajalah masih bisa menghirup udara pagi ini, masih dapat menarikan jari-jemari di atas keyboard ini, masih dapat menyaksikan pergantian malam dan siang.

Aku menatap keluar lewat pintu kamar yang terbuka lebar, yang kudapati hanyalah pemandangan yang sama seperti hari yang kemarin. Rasa-rasanya aku bosan bertanya pada tiap pagi ketika bias sinar mentari mulai memaksa masuk melalui kisi-kisi kamar ini. Pertanyaannya akan selalu sama, ke mana? Ke manakah pemandangan yang pernah kulihat dulu saat aku memalingkan wajah ini lewat pintu kamar itu? Ke manakah perginya suasana itu? Semua berganti dan haruskah aku merasa sendiri? Ah pertanyaan klasik! Kenapa bertanya sedangkan aku sendiri sadar bahwa aku tidak sendirian. Orang-orang di sekelilingku aku anggap apa?

Berhentilah mendramatisir, walaupun kuingin menulis bahwa aku terpuruk di sini, terbuai dalam kanvas kegelapan. Walaupun bingung harus bagaimana jika langkahku kembali menjadi kaku, sisi-sisi ruangku kembali menjadi gelap karena masa lalu yang tak pernah hadir lagi saat kupalingkan wajahku ke arah pintu itu.

Berhentilah mendramatisir, walaupun kuingin menulis bahwa aku lelah terus berjalan, berkias sedang meniti gelap dalam cahaya yang terang benderang, seolah-olah sedang berdiri di persimpangan jalan lalu meneriakkan sebuah nama di masa lalu, dan kemudian berharap ada seseorang datang memberikan warna yang sama seperti dulu yang tak pernah aku jumpai setelah aku kehilangan masa lalu itu.

Ya iyalah, yang pasti hanya ada sepi, sunyi. Karena itu semua hanyalah drama pilu dalam paradigma semu.

Jelas tak ada yang mendengar. Yang ada hanyalah tatapan kosong, takkan ada sebuah nama. Sebuah nama yang diatur agar mampu mengalunkan sebuah lagu pada sisi-sisi ruang yang penuh harap akan syahdunya melodi-melodi cinta yang bisa mengulang masa lalu dalam versi yang berbeda.

Sudahlah, lupakan saja. Nikmati saja, jalani sajalah. Apakah kautahu? Kebahagiaan akan datang pada waktunya, termasuk masa lalu tentang asa-asa cinta dalam versi yang berbeda pada masing-masing nama pada sebuah nama baru.

Komentar