Seratus Sembilan Puluh Satu Hari

Admal Yasar  • 
"Sekalipun hujan, biarlah. Biarlah basah, kuyup. Tapi tidak kita, menyala, terbakar. Hingga menderu kencang nafasmu, dalam selimut kabut berkeringat ...."
Sumber gambar: Kittijaroon, 2018 (dalam www.gettyimages.com)

Sudah setahun lewat, setelah seratus sembilan puluh satu hari.

Bayanganmu tak juga pekat, padahal sekarang gulita. Malah semakin jelas terlihat. Bagaimana aku bisa tidur nyenyak? Sedang datang bayang-bayangmu putarkan semua memori, berkali-kali.

Kau tahu? Aku mencarimu, entah di mana, ke mana. Sekalipun hujan, biarlah. Biarlah basah, kuyup. Aku bosan akan bayang-bayangmu! Kenapa tidak kau tampakkan saja dirimu? Agar aku bisa tidur nyenyak ketika senja telah menjemput malamku.

Ah, ini malam gulita mencekik, berselimut kabut. Harus ke mana? Dingin menembus kulit, sedang aku terkulai menahan kalut. Liar bayang-bayang ego masih dalam gulita, berkecamuk dalam lubuk hati. Bisakah kau menyadari?

Kita pernah bersenandung bersama dalam pekat ini. Hilangkan norma-norma tabu, hingga menderu kencang nafasmu. Dalam selimut kabut berkeringat. Gelap. Dingin. Tapi tidak kita, menyala, terbakar.

Ini malam bernyanyi lagu sepi, nyanyian pengiring pekat cinta yang pudar. Harus ke mana? Sedang dingin masih menembus kulit, aku terkulai menahan penat. Kau benar-benar pergi.

Lagi-lagi aku menerawang langit yang gelap. Membayangkan senja di bagian bumi yang lain. Rasa-rasanya aku mau ke sana, menjemputmu dari tidur untuk mengulang cerita dalam selimut kabut.

....

Sudahlah! Senja berlalu. Aku gulita, pelukan tak terjamah. Ini hati yang punya sudah pergi, jadi pemilik hati pencuri gadis pengkhianat. Lalu datang dia bawa lilin, setengah terang, setengah gelap. Tak seperti cahayamu, dia kalah. Dan akhirnya, kutiup saja lilin itu, matilah seketika. Aku kembali gulita, gelap. Dia hilang, kau hilang. Tidak dia, kau yang kucari!

Oh, ciuman tak terjamah. Ini hati yang punya sudah pergi, jadi pemilik hati pencuri gadis pengkhianat. Aku kelam, kau kalam. Kau kalam, aku kelam. Tenggelam dalam-dalam.

Senja pergi. Gulita makin pekat. Lalu harus ke mana? Sedang dingin menembus kulit, aku terkulai menahan kalut. Kau benar-benar hilang, tak kembali.

Baiklah, kini kau tak dinanti, tak peduli. Aku juga pergi.

Komentar