Melewati Batas Langkah

Admal Yasar  • 
"Dan semoga dengan tidak diikuti oleh bayangan-bayangan buruk yang sama, dengan tidak berharap kau akan melewati batas langkahmu ...."
Sumber gambar: Pixabay, 2017 (dalam www.pexels.com)

"Assalamualaikum ...."

Beruntun suara itu terdengar. Sudah kujawab namun masih saja salam itu terulang beberapa kali. Ketukan pintu itu terlalu ribut untukku di hari yang masih sangat pagi ini. Segeralah aku bangun dari tempat tidur. Rambutku yang gondrong aku biarkan saja berantakan. Menuju pintu dan memutar kayu kecil yang menjadi pengganti kunci di pintu itu.

Oh, kau rupanya. Menggendong tas merah kesukaanmu, tas yang sama seperti yang dulu. Tak bergairah wajahmu terlihat. Lesu bibirmu memaksakan senyum itu. Ah!

"Dinda, masuklah!"

Begitu saja kau taruh tasmu di samping lemari. Melepas jaket merah tuamu dan di kasur biruku kemudian kau berbaring pasrah. Kau mulai pejamkan matamu hingga tertidur. Tahukah, ada banyak tanya dipikiranku? Aku benar-benar bingung akan sikapmu.

Selimutku yang terjatuh di lantai dari semalam kuambil saja untuk menyelimutimu yang sedang tertidur pulas. Sebenarnya aku masih ingin tidur, begitu mengantuk rasanya karena begadang semalaman. Tapi aku tak mau tidur bersebelahan denganmu di kasur itu. Aku takkan bisa tidur bila harus bersamamu sekarang.

Kuambil saja gelas plastik sisa kopi dan teh, entah dari beberapa hari yang lalu. Ke belakang, kumulai mencuci gelas-gelas plastik itu, kepalaku begitu penuh tanda tanya. Mengapa kau hadir secara tiba-tiba, tanpa kabar? Kenapa? Apa yang terjadi denganmu di sana? Apakah kau sedang melarikan diri?

....

"Siapa yang datang?" seorang teman, tetangga sebelah bertanya.

Rupanya, ia baru selesai mandi. Aku hanya mengerlingkan mata, tak kujawab pertanyaan basa-basi itu. Mungkin karena penasaran, kemudian ia melirik ke arah rumah kecilku, yang hanya terdiri dari satu ruang tidur yang kusulap menjadi multiruang. Hanya itu, tak ada ruang lain. Sehingga siapapun dapat melihat aktivitasku ketika pintu kubuka.

"Wah, senang ya ada tamu cewek yang datang pagi-pagi gini."

Aku hanya memaksakan senyum. Ia pun berlalu menuju rumahnya. Hmm, senang? Tentu saja, mungkin. Seorang lelaki normal sepertiku, seharusnya bahagia dengan kehadiran nona manisnya. Tapi haruskah aku berpura-pura senang, jauh-jauh kau datang dari pulau dewata sana hanya untuk menengokku? Oh, ya, normalnya aku seharusnya sangat bahagia.

....

Ah, aku begitu linglung seperti orang bingung. Kubeli air putih panas dua bungkus di warung. Kubuat dua gelas Good Day Vanilla panas. Kesukaanmu. Kesukaanku juga. Kesukaan kita. Sepertinya sisa roti semalam masih ada. Untuk kita berdua semestinya cukup.

....

Hari semakin panas saja, dan kau pun terbangun di siang bolong ini. Aku sedang mengedit tugas kuliahku. Aku tahu kau lama menatapiku dengan kepala menempel di bantal. Apa yang kau rasakan ketika melihatku? Kecewa? Perih? Karena kau tak pernah mengharapkan kehadiranku. Karena kau memaksa melarikan diri ketika benih cinta tumbuh dalam hitungan ... minggu ... bulan .... Ah, aku lupa! Aku begitu tegar, bukan? Aku terlalu cerdas untuk mengalah padamu.

Dan benih itu lahir dengan tulus, begitu sempurna. Benih yang kau anggap anugerah, seperti hal apapun yang terindah, katamu waktu dulu. Dan kau malah berlari ke seberang pulau bersama lelaki itu. Tak mau menengok ke arahku lagi.

....

"Ada kuliah hari ini?" tanyamu.

"Hari ini kosong. Kau mau makan? Ini sudah aku siapkan. Atau mandi saja dulu, biar segar, biar capeknya hilang."

Aku melihatmu. Aku membaca goresan luka itu. Sepertinya aku mengerti.

Kau bangunkan dirimu. Mengambil vanilla-mu, meminumnya sambil menatapku lagi. Tak bisakah kau berhenti melihatku seperti itu? Aku tak suka tatapanmu. Kau boleh merasa kau pernah di sini, kau gadis yang pernah dalam hitungan ... minggu ... bulan .... Ah, aku lupa!

Hebatkan aku? Setelah berkali-kali berperang melawan banyak racunmu, aku malah begitu asyik bermain dengan kepintaranmu selama itu. Kepintaranmu yang memandaikanku. Mungkin kau begitu kesal padaku dulu. Bahkan benci. Begitu ngotot aku menanam benih itu. Aku menyusahkanmu.

Aku tahu semua itu. Tapi ya sudahlah.

"Kau tak berniat pindah rumah? Aku ada teman ...."

"Tidak. Aku sudah cukup nyaman dengan rumahku yang ini."

Jemariku di keyboard terhenti. Aku menghela nafas. Yakinkah kau suatu hari aku akan menerimamu seperti ini lagi karena alasan kita pernah bersama? Yakinkah kau sampai hari ini aku masih mengharapkanmu? Oh, tidak. Jangan pernah berharap. Aku tidak perlu itu, aku bisa hidup dan bertahan dengan ini semua. Kau tak tahu apa-apa tentangku, hidupku setelah kau pergi. Jangan merasa kau mengerti aku, meski aku pernah bersama denganmu waktu itu, sesampainya aku di penghujung batas langkah kepergianmu.

Benih itu memang telah lama mati, walaupun kumasih sempat merawatnya sepanjang waktu, hingga aku menginjaknya hingga benar-benar mati setelah kau datang seperti biasa dan kali itu bersama seorang lelaki yang kau paksakan padaku untuk mengakuinya dengan sebutan pacarmu, bersama alasan yang lain yang kau paksakan padaku untuk menganggap kita sebagai teman.

Aku hidup dengan apa adanya, bertahan bersama semua ini. Itu sebabnya aku tak pernah takut bila hanya aku tak mengantongi kejahatan yang disebut dengan nama cinta. Aku tahu kau menitip benih itu padaku untuk kepergiannya sesaat. Aku tahu kau menyimpankannya benih yang lama itu di sebuah gudang hatimu yang gelap.

....

"Masih lama mengerjakan itu? Aku mau mandi dulu." Kau mengambil tasmu. Mengeluarkan handuk dan baju ganti, juga peralatan mandi.

Aku tak bisa lagi berkonsentrasi dengan tugas kuliahku. Kasurku yang bekas kau tiduri segera kurapikan. Wangi tubuhmu menempel di situ. Ah, aku tak mau mengingatnya. Kembali aku termangu di depan komputer. Mengapa kau harus hadir di sini dan mengacaukan hariku?

Segera kudiamkan jiwaku, sesaat lagi kau pasti usai. Aku tak mau kau anggap aku sebenarnya merindukanmu. Ah, sedetik pun membayangkan wajahmu aku enggan. Aku sudah asing dengan rinduku padamu sejak lama. Lama sekali. Selama penantianku di penghujung batas langkah kepergianmu. Rindu itu telah terdampar di lorong gelap ingatanku.

....

Ketika kau masuk kamar, kau bingung mendapati kamar yang rapi, makanan yang aku siapkan.

"Ayo makan." Aku tak menjawab kebingunganmu.

Aku mengambil piring yang sudah berisikan makanan, kubeli tadi di warung. Aku makan dan makan. Kau malah mengemasi barang-barangmu.

"Aku sudah pesan kamar di tempat biasa. Nanti sore, tolong datang ya, sms aku kalau sudah sampai di lobi. Aku mau bicara, aku harap kamu datang. Tolong aku, untuk yang terakhir! Aku permisi."

Kau pun menghilang di balik pintu.

....

Gambar kerjaku banyak. Aku membuka kembali AutoCAD-ku dengan sangat malas. Denah, tampak, potongan, rencana pondasi, rencana pintu dan jendela, hingga gambar detail-detailnya. Ah ya, semua tugas ini tak akan membawaku pada kesimpulan aku bukan pacarmu. Kau adalah gadis yang melahirkan benih itu. Kau yang menumbuhkannya. Maka engkau adalah pacarku. Aih, akan selalu begitu!

Aku mencoba berkonsentrasi dengan membuat catatan-catatan kecil di binderku. Hanya bertahan beberapa menit. Tetap saja aku memikirkanmu dan kedatanganmu di sini. Ada apa?

....

Hari tak terasa menemui titik senja. Senja itu lagi! Ah, capek aku mengingat senja itu. Betapa cepat waktu ini. Aku memang harus menemuimu, setidaknya aku akan tahu apa maumu kali ini.

Di lobi hotel tempatmu menginap begitu ramai manusia. Berisik. Oh, betapa aku rindu tempat tinggalmu dulu waktu di Kota Pelajar ini.

Kau pun menuruni tangga setelah aku menunggu hampir sepuluh menit lamanya. Ada seorang laki-laki bersamamu, tapi bukan laki-laki yang harus kusebut pacarmu waktu itu.

"Kamu ingat Riko kan?" Kau bertanya padaku.

Kusalami juga laki-laki berkepala botak itu. Tentu saja aku mengingatnya. Dia adalah salah satu temanmu. Dia juga mantan pacarmu dulu, sebelum aku dan dia. Rasa-rasanya aku mulai memahami.

Ya, dia adalah mantan pacarmu dulu, sebelum aku dan dia. Riko adalah mantan pacarmu dulu, sebelum aku dan dia.

"Aku harus pergi dulu. Baik-baik dengan Dinda!" Laki-laki itu pun pergi meninggalkan tepukan dipundakku. Sial!

"Yuk, ke atas."

Aku hanya mengikutimu dari belakang. Begitu sampai di kamarmu, aroma asap rokok begitu menyengat. Abu rokok bersebaran di mana-mana. Apakah kau yang merokok sebegitu liar, ataukah laki-laki botak tadi? Kau hidupkan TV dengan volume samar-samar di telinga. Ah, basa-basi sebagai intro aksimu.

"Minum?" Tanganmu mengulurkan sebotol ice tea. Aku menggeleng. Kemudian kau meletakkan benda itu di meja samping tempat tidurmu.

Kau duduk di tepi ranjang. Kadang menunduk, kadang menatapku. Aku begitu bebas memandangimu kali ini. Kau masih manis. Meski aku malas melihatmu.

"Aku siap mendengarkan semuanya," ujarku berat.

Bodoh, seharusnya kau yang membuka pembicaraan ini duluan. Kau justru sebaliknya.

"Aku dan dia sudah putus. Kami tak bisa bersama lagi."

Aku sudah siap mendengar yang ini.

"Aku mau menikah dengan Riko. Riko sudah terlalu lama menungguku sejak dia meninggal. Orang tuaku pun menginginkan aku dengannya. Tapi, kamu?"

"Kenapa?"

"Kamu tidak apa-apa kan?"

Aku mendengar isakmu, mengalun tenang dengan jeda yang lumayan lama, selanjutnya menjadi tangis yang begitu memilukan.

Kusembunyikan saja rasa kagetku mendengar lelaki yang kau paksakan padaku untuk menyebutnya sebagai pacarmu itu telah meninggal. Tapi tak guna juga rasanya menanyakan kronologis ajal dirinya padamu. Toh itu pun takdir, mau di-apa.

Dan kau sekarang, bukan salahmu akan menikahi laki-laki itu, toh itu tanda baktimu pada orang tuamu maka kau menyanggupi untuk dijodohkan. Tapi salahmu tak memahami konsekuensi atas pilihanmu itu.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?"

Kau menatapku, seolah mencari keyakinan atas pertanyaanku.

"Aku bingung. Teman-temanku marah padaku. Teman-teman dia juga. Rasanya, semua menyalahkan kami, menyalahkan aku dan Riko. Seolah, aku mampu dan perasaan cinta kami itu adalah sama. Mengapa kami harus bersatu?"

Aneh. Kau benar-benar aneh. Kalimat brutal! Itu kalimat pertanyaan atau pernyataan? Seharusnya aku yang curhat begitu padamu.

"Dinda, semua terserah padamu, kau yang menjalaninya. Mungkin aku harus membahagiakanmu dengan jalan yang seperti ini."

Kau berhenti terisak. Kau berlari menubrukku. Aku begitu kaget dengan reaksimu. Kau memelukku begitu erat. Kau letakkan kepalamu di dadaku hingga aku bisa mendengar detak jantungmu. Inikah detak yang menemaniku dulu? Ah, begitu asingnya tanganmu ini, tubuhmu ini.

"Terima kasih, sayang. Aku tahu kau satu-satunya yang akan mengerti." Kudengar kata-kata ini begitu sadis di telingaku. Tapi, aku menangkap senandung bahagia di situ. Kau pun mulai melepas pelukanmu.

Huh, akhirnya.

"Kamu ikhlas kan?"

"Iya, iya," jawabku cepat.

Kau segera mengambil ponselmu. Kau kembali duduk di tepi kasur. Aku tahu kau pasti mengirimkan pesan pada laki-laki botak itu.

Kau kembali menatapku setelah dua menit. Lumayan lama.

"Kau mau membantuku menjelaskan pada teman-temanku?"

Rasa-rasanya aku tak pernah mengenalimu. Rasanya, aku ingin menjadi gila saja, seperti kau dan pertanyaan gilamu itu. Kau tahu, gendang telingaku hampir rusak begitu mendengar pertanyaanmu barusan.

"Kenapa kau tak bisa jelaskan sendiri?" Aku menghela nafas. Kau dengar nada kecewaku.

"Aku benar-benar merasa bersalah. Aku dulu harus meninggalkanmu. Tapi jujur, selama kita bersama, aku merasa bahagia. Aku minta maaf karena akhirnya harus seperti ini ...."

"Sudahlah. Aku tahu. Aku tahu. Maaf, aku tak bisa membantumu untuk menjelaskan pada mereka. Lagipula aku tak ingin lagi ke sana. Aku sudah tenang dengan semua ini."

Kau terdiam kaku menatapku. Seharusnya kau sadar, sudah lama kau melupakanku, menganggapku orang lain dan tak pernah ada. Seharusnya, kau bisa merasakan lukaku ini. Sayangnya, kau tidak.

Aku sungguh muak padamu. Lihatlah tingkahmu. Sayangnya, aku terlalu mencintaimu. Aku selalu memaafkanmu, sehebat apa pun kau menyakitiku. Mungkin kau anggap aku pun sangat menyakiti hatimu. Mungkin aku tak mampu memberikanmu yang terbaik dan yang selayaknya kecantikanmu. Sekarang kau mengejar maafku sedangkan dulu kau mengejar kasih sayangku. Kau pakai senjata aku dan dirimu untuk mengikatku. Dengan mudah kau menakar baik dan buruk semua ini. Entah sudah berapa kali kata maaf kau lontarkan kepadaku? Sayang, tak ada kata-kata yang mengijinkanku untuk menyebutmu sebagai gadis yang menyakitiku, bagiku di depanmu.

Aku muak padamu. Hanya karena aku tak ingin menyakitimu maka aku tak pernah mempertanyakan mengapa kau ingin membunuh benih itu ketika dulu aku merawat benih itu. Aku masih cukup waras untuk tidak mengiris hatimu dengan pertanyaan itu. Tapi, bisakah kau tak mengusikku agar aku tak lebih jauh lagi menyakitimu? Mengapa sulit untukmu mengerti? Terserah kau mau hidup dengan siapa pun. Terserah mau jadi apa dirimu. Terserah. Aku mau sendiri. Karena kau telah menghilangkanku. Kau telah memaksaku membunuh benih itu.

"Aku sayang kamu ...."

Nah, kau merajuk.

Aku hanya melihatmu, mempertanyakan mengapa kalimat usang itu bisa keluar dari bibir manismu. Terkadang aku heran, betapa sisimu yang kekanak-kanakan dan manja itu sulit untuk hilang. Sisi egoismu, sisi menang sendirimu.

Aku menuju jendela dan melihat jalanan semakin ramai. Seakan-akan ingin kupecahkan kaca jendela ini.

"Kamu tak menginap saja, temani aku?"

"Tidak, Dinda. Terima kasih."

Aku membasuh mukaku dengan kedua tanganku yang kering, lalu berjalan menuju pintu. Rasanya ada yang harus kukatakan padamu sebelum aku keluar dari sini.

"Dinda, aku ikhlas apa pun pilihan hidupmu. Mau menikah atau apa pun itu, sepenuhnya terserah padamu, itu pilihanmu dan kau yang menjalaninya. Aku hanya minta, jangan temui aku lagi. Jangan suruh aku menemuimu. Jangan menuntut apa-apa dariku ...."

Kau terdiam menatapku. Dan aku, aku tak peduli. Aku tetap meneruskan sisa-sisa kalimatku, ".... Aku sudah sangat cukup dengan diriku sendiri. Dengan hidupku. Tolong, jika kau ingin aku bahagia, hanya itu yang aku mau."

Aku bergerak membuka pintu, dan ketika akan menutupnya, mau tak mau aku harus berbalik dan menatapmu yang mulai berkaca-kaca lagi.

"Maafkan aku. Salam untuk keluargamu di rumah."

Pintu pun menutup hingga aku tak melihat lagi wajahmu yang sedang basah itu. Aku melangkah dengan linglung. Kurasai air mata yang mengaliri pipiku. Kurasai nyeri yang berkejaran berlarian di hatiku. Seperti seonggok daging di mulut anjing, yang langsung merobek-robeknya, mengunyahnya, menelannya dengan suka cita. Akulah daging itu yang begitu pasrah dianiaya. Kau anjingnya? Mungkin iya, mungkin juga tidak.

Apakah aku jahat padamu? Ataukah kau yang tak berperasaan padaku? Kepalaku seperti dilempar batu, mataku benar-benar tak fokus menuntun langkah kaki. Sekeluarku dari hotel, aku menuju parkiran motor untuk segera pulang. Jarak perjalanan pulang lumayan jauh. Semoga cukup untukku menghabiskan air mataku di sepanjang perjalanan ini. Aku tak peduli manusia-manusia di sekitarku. Aku tak peduli karena aku pun sudah terbiasa tak dipedulikan. Mengapa aku harus berharap ada manusia-manusia lain di bumi ini yang akan mempedulikanku?

Aku tahu kau pun tengah menangis, menangisiku. Menangis untuk alasanmu sendiri. Tapi, sungguh tak adil berbicara tentangmu lagi.

Aku pun tak mampu mengalahkan luka dan sakitku karena apa yang kau lakukan di masa lalu, masa kini. Dan aku menghukummu dengan menjauhimu. Aku berlari darimu, melupakan kau pernah menjadi bagian dari ruangku. Melupakan aku yang pernah kesakitan ketika kau mendesak terpisah dari ruang itu.

Aku pun tak tahu, entah sampai kapan pelarianku. Pelarian tanpa akhir, karena perasaan-perasaan itu tetap saja ikut berlari, seperti bayangan.

....

Tepat di perempatan, menunggu bangjo yang masih merah, tak mampu lagi aku membahasakan padamu lukaku ini. Tak mampu lagi. Aku hanya harus menghadapi hari esok seperti hari kemarin. Dan semoga dengan tidak diikuti oleh bayangan-bayangan buruk yang sama, dengan tidak berharap kau akan melewati batas langkahmu untuk menemuiku lagi.

Tiba-tiba di sebelahku seperti ada seseorang yang sedang memanggilku. Kuangkat kepalaku, seorang gadis kecil menurunkan jendela mobilnya dan mengulurkan selembar tisu.

Komentar